Bangga Surabaya – Metode tanam vertikultur merupakan salah satu teknik bercocok tanam yang sedang trend di masyarakat. Karena, teknik ini tidak hanya dapat membudidayakan tanaman sayuran, namun juga mampu menghadirkan estetika keindahan. Nilai estetika inilah yang kemudian membuat budidaya tanaman dengan metode vertikultur banyak diminati masyarakat luas.
Salah satunya yakni, warga di lingkungan RT 04 RW 05 Kelurahan Kendangsari Surabaya. Masyarakat di sana, mulai mengoptimalkan lahan di selah gang kampung dengan menerapkan metode tanam vertikultur menggunakan Pola Tanam Sehat Amanah (PTSA).
Ketua Komunitas Muda Mudi Surabaya (KMS) Zubaidullah mengatakan dengan menerapkan metode tanam vertikultur diharapkan dapat mengunggah minat masyarakat untuk mulai bercocok tanam. Sebab, ia menilai, masyarakat perkotaan biasanya juga ingin bercocok tanam, namun terkendala dengan kondisi lahan.
“Dengan begitu masyarakat juga bisa mulai menerapkan pola pangan mandiri dengan teknik tanam vertikultur tersebut,” kata Ubaid – sapaan lekatnya disela kegiatan bercocok tanam, Minggu, (10/02/19).
Disamping dapat menghasilkan pola pangan mandiri, lanjut Ubaid, budidaya tanam vertikultur ini juga mampu menghasilkan estetika keindahan kampung. Bahkan, ia mengaku, pihaknya ingin menerapkan metode vertikultur untuk membangun kampung wisata edukasi masyarakat.
“Kami berencana ingin membuat kampung vertikultur, untuk memanfaatkan lahan selah. Karena itu, kami juga melakukan kerjasama dengan Jatayu Pomosda,” ujar Pria asli kelahiran Surabaya ini.
Sementara itu, Tim dari Jatayu Pomosda, Citro Santoso menyampaikan, problem masyarakat perkotaan biasanya minim lahan untuk bercocok tanam atau berkebun. Namun, dengan menggunakan metode vertikultur PTSA, teknik ini bisa menjadi salah satu solusi masyarakat kota yang ingin mulai bercocok tanam. “Dengan adanya (metode) vertikultur itu, dengan media lahan yang sempit pun bisa jadi,” kata Citro.

Untuk mulai menerapkan metode tanam ini, ia menjelaskan, masyarakat bisa memanfaatkan lahan seluas 1 meter persegi untuk tiga vertikultur. Menurutnya, satu vertikultur bisa diatur dengan diameter pipa (paralon) 5 inchi, untuk masing-masing 27 lubang tanam sayuran. “Satu (pipa) vertikultur itu bisa panen 27 hingga 37 lubang sayuran,” terangnya.
Selain menggunakan bahan dari pipa, lanjut Citro, masyarakat juga bisa memanfaatkan bahan bekas dari sekitar rumah. Seperti bekas botol minuman plastik, kemasan minyak goreng, hingga karung beras. ”Mengenai wadah media tanam, bisa menggunakan botol-botol bekas, kemasan minyak goreng bekas, terus sak beras itu juga bisa, tinggal kreasi masing-masing,” ungkapnya.
Tentunya, hal ini juga menjadi nilai plus dari budidaya tanaman secara vertikultur, selain mendapatkan produk pertanian yang sehat, dan higienis. Terlebih, masyarakat juga dapat melestarikan kembali lingkungan dengan melakukan daur ulang sampah botol plastik.
Saat ditanya kelebihan metode tanam vertikultur dibanding hidroponik, Citro menuturkan, jika menggunakan teknik hidroponik, maka kebutuhan bahan yang diperlukan cenderung lebih banyak dibanding vertikultur. Terlebih, bahan-bahan yang dibutuhkan harganya juga relatif lebih mahal. Namun, dengan menerapkan metode vertikultur, masyarakat cukup memanfaatkan bahan bekas dari limbah rumah tangga. Sehingga teknik vertikultur ini, dianggap menjadi solusi tanam dengan biaya yang relatif lebih murah.
“Dari modal pun bisa terlihat, kalau hidroponik kan butuh pipa, aerator, nutrisi juga beli, ndak bisa bikin sendiri. Kalau vertikultur, kita bisa buat (bahan) sendiri. Dari limbah rumah tangga kita olah dengan pengurai, dari pasaran kan banyak sekali,” pungkasnya. (*)