Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Namun siapa sangka Indonesia merupakan negara pembuang makanan kedua terbesar di dunia. Mirisnya, justru di negara ini terdapat 19.4 juta penduduk yang mengalami darurat pangan. Hal itu diungkapkan Dedhy Bharoto Trunoyudo yang merintis gerakan Garda Pangan bersama dua orang lainnya yakni Indah Audivtia dan Eva Bachtiar.
Dedhy Trunoyudo mengatakan, Garda Pangan merupakan salah satu startup di Surabaya yang concern dengan kegiatan food bank. Startup ini, lanjutnya, akan mengumpulkan makanan surplus dari berbagai bakery maupun resto yang telah bekerjasama untuk kemudian disalurkan ke masyarakat pra sejahtera. “Sejak dibuka bulan Juni 2017, Garda Pangan menyebarkan 110 penerima manfaat yang terdiri dari panti asuhan, kampung prasejahtera, rusun dan pesantren,” terang Dedhy saat ditemui Tim Bangga Surabaya beberapa waktu lalu di Koridor Siola lantai 3.

Menurut Dedhy – sapaan akrabnya, awal beridirnya Garda Pangan berawal dari pengalamannya saat bekerja di industri catering wedding. Saat itu, dirinya menjadi pelaku pembuang makanan. Pengalaman tersebut, membuat Dendhy bersama dua rekannya, satu diantaranya menjadi istrinya (Indah Audivtia), sepakat membuat gerakan food banking dengan tujuan utama mengurangi limbah sampah makanan. “Pada saat catering, jika ada makanan berlebih maka opsi membuang adalah opsi yang paling cepat, aman, dan murah karena nggak harus repot-repot mengantar ke orang lain,” sambungnya.
Disampaikannya, dalam menjalankan startup, berbagai macam tantangan sempat dialami mulai dari kesulitan mengambil makanan di lapangan hingga validasi bisnis model. Bahkan, di awal pembentukan ini, kata Dendhy, tidak ada relawan. Jadi, untuk mewujudkan mimpinya, setiap 2 minggu, mereka bergantian mengambil makanan berlebih. “Kalau saat ini, tantangannya lebih mengarah validasi bisnis model agar Garda Pangan bisa menghasilkan keuntungan bagi masyarakat dan Garda Operasional sendiri,” jelas Dedhy.

Sejak Juli 2018, gerakan food banking dihuni lebih dari 230 orang. Masing-masing 200 relawan lepas per harinya dan relawan tetap sekitar 30 orang. Untuk waktu mengumpulkan pangan, rutin dilakukan setiap hari pada pukul 17.00 hingga 21.00. “Selain itu, minimalisir packaging juga menjadi perhatian tim Garda Pangan agar tidak menimbulkan sampah-sampah lainnya,” imbuh pria alumni Universitas Brawijaya Malang itu.
Dedhy mengaku, dalam setiap pekerjaannya ada keseruan tersendiri yakni melihat senyum kebahagiaan warga yang dirasa ampuh mengobati rasa lelah tim Garda Pangan. Ia berharap, startup mampu mengurangi tingkat surplus makanan di Surabaya sehingga dapat dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

“Keseruan di Garda Pangan adalah saat memberikan kontribusi positif ke masyarakat tanpa mengeluarkan banyak usaha. Dengan adanya hal kecil bisa berdampak pada masyarakat Surabaya. Harapannya semakin banyak arek Suroboyo yang mulai membuka startup untuk menangani masalah-masalah sosial lainnya di Indonesia,” tandasnya. (Nindy Elsye)