Bangga Surabaya – Sukarmudjiono merupakan satu dari sekian masyarakat Indonesia berjiwa toleransi tinggi. Bagaimana tidak, pria berusia 58 tahun ini sanggup melestarikan satu-satunya budaya Tionghoa di Kota Surabaya.
Bukan dari keturunan Tionghoa dan tidak menganut keyakinan yang sama, Mudji mempunyai andil besar dalam mempertahankan kelestarian budaya lokal ini. Rumah ibadah Klenteng Hong Tiek Hian di Jalan Dukuh, menjadi saksi bisu perjuangan pertunjukkan wayang Potehi untuk diperkenalkan bagi warga Surabaya.
Sebelum bercakap-cakap, Mudji bersama anggota bernama “Lima Merpati” melakukan pertunjukkan wayang Potehi bercerita tentang Sin Jin Kwie. Seorang tokoh jendral yang kuat dan bijaksana.
Selama 2 jam melakukan pertunjukkan, terlihat gemulai jari jemari para pemain saat memainkan musik dan boneka Potehi di dalam panggung berukuran empat meter tersebut. Usai menampilkan pertunjukan wayang potehi, Mudji mulai bercerita awal perjalanan menekuni kesenian wayang Potehi.
Menurutnya, sebelum menjadi dalang wayang potehi dirinya kerap menyaksikan pertunjukan wayang yang jarak klenteng dengan rumahnya sangat berdekatan.
“Saya lihat jalan ceritanya, semakin tumbuh dewasa semakin saya mengerti banyak perjalanan hidup dalam ceritanya,” tutur Mudji saat ditemui di Klenteng Hong Tiek Hian, beberapa waktu lalu oleh tim bangga surabaya.
Dikarenakan rasa ingin tahu yang tinggi dan rajin hadir di klenteng membuat pria yang kurang lebih menekuni dunia perwayangan selama 37 tahun diajak Encik Gancoco untuk mempelajari budaya ini. “Encik Gancoco merupakan orang pertama yang membawa budaya ini ke Surabaya,” terangnya.
Meskipun berasal dari keyakinan dan budaya yang berbeda dengan apa yang dikerjakannya, hal itu bukan sebuah halangan bagi Mudji. Dirinya menuturkan, wayang potehi sebenarnya pertunjukkan untuk pengantar ritual doa dan persembahan untuk empat dewa tuan rumah di klenteng Hong Tiek Hian. “Bahasa yang digunakan dalam pertunjukkan masih menggunakan bahasa hokkian,” jelasnya.
Dan hampir 20 sejarah perkembangan dinasti Cina yang termasuk dalam cerita sudah dikuasainya. Mudji mengaku kerap mendapat beberapa pesanan pertunjukkan wayang Potehi dengan durasi 2 jam hingga berminggu-minggu sesuai kemampuan ekonomi orang yang memesan. “Inilah skill terbaik yang bisa saya suguhkan bagi siapa saja,” ungkapnya.
Mudji mengakui bahwa perbedaan tidak dapat dihindari oleh setiap individu masih tinggal di Indonesia. Karena itu, lanjutnya, sebagai makhluk sosial, maka diperlukan sikap saling menghargai dan menghormati antar umat beragama. “Melalui perwayangan potehi, banyak pelajaran yang bisa disampaikan. Saya tidak pernah membedakan mana Cina, mana Jawa yang terpenting hidup bisa bermanfaat bagi sesama,” tandasnya.
Contoh dari hal kecil tentang kepribadian seorang dalang yang dengan kemauannya sendiri mempertahankan keutuhan NKRI. “Memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak hanya menodongkan senjata, namun cukup berjiwa besar dan pantang menyerah, keutuhan bangsa ini tidak akan pernah pudar,” pesannya. (Novem Iryani)